Teologi Islam dan Kemerdekaan
TEOLOGI ISLAM DAN KEMERDEKAAN
I. PENDAHULUAN
Muadz bin Jabal pernah di tanya
seseorang, “manakah yang lebih baik orang yang berkeyakinan kuat tetapi rendah
amalnya ataukah orang yang berkeyakinan lemah tetapi luhur amalnya”?. Dengan
bahasa analogis Muadz menjawab “akar pohon yang lemah akan berakibat buruk
pada dahan, ranting dan buahnya, sedangkan pohon yang berakar kuat akan memberi
angin kebaikan pada semuanya”[1].
Keyakinan dalam Islam disebut sebagai
akidah tauhid atau sering di istilahkan dengan teologi Islam. Kuat dan lemahnya
pilar ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan secara keseluruhan, baik
dalam aktifitas keduniaan seperti perekonomian, pendidikan, sosial, politik, hukum
dan lain-lain maupun pada kehidupan akhirat. Adapun tentang dapat melemah atau
kuatnya keyakinan ini adalah sesuatu yang mungkin. Rasulullah memberitakan hal
ini dalam salah satu sabdanya “Iman itu dapat bertambah dan berkurang, maka
perbaharuilah keimananmu dengan La ilaha illallah”[2].
Muhammad
Qutb dalam karyanya La ilaha illallah manhaj el-Aqidah wa el-hayah
mengemukakan bahwa keyakinan seseorang dengan Tuhannya merupakan pilar dasar
dalam kehidupan secara keseluruhan. Artinya semakin kuat keyakinan tersebut,
maka akan semakin baik kehidupannya, begitu pula sebaliknya. Maka semua sikap
dan prilaku manusia sangat ditentukan oleh pandangan mereka kepada Tuhan
semesta alam ini[3].
Salah satu implikasi Teologi Islam dalam kehidupan adalah
masalah status diri manusia. Ketika seseorang hanya meyakini Allah Swt sebagai
sesembahan kemudian menganggap bahwa mahluk lain adalah sama dengan dirinya
dimata Allah, maka berlandaskan pandangan ini seorang mukmin merasa bahwa
ketaatan dan ketundukannya hanya kepada Allah semata. Dia hanya terikat dengan
perintah Allah secara mutlak baik dalam ukuran yang paling kecil sekalipun atau
paling besar, baik dalam gerak maupun diamnya, dalam penerimaan maupun
penolakannya dan dalam urusan-urusan lainnya. Setelah itu kemudian lahir sikap
tidak mau mempersempahkan sesuatu untuk selain Allah sebagaimana dia meyakini
bahwa tidak ada Hâkimiyyah selain Allah[4].
Pandangan ini selanjutnya melahirkan sikap merdeka dan mandiri ( El-Hurriyat
) serta melahirkan sikap anti perbudakan.
II. RUMUSAN MASALAH
- Pengertian Kemerdekaan
- Macam-macam Kemerdekaan
- Hikmah kemerdekaan
- Analisis dan kesimpulan
III. PEMBAHASAN
- Pengertian Kemerdekaan
Kemerdekaan dalam bahasa arab sering di Istilahkan dengan
Al-Hurriyah. Mustahafa Al-Ghalayin berpendapat bahwa kalimat الحرّ (merdeka) secara etimologi berarti الخلوص (selamat atau bersih). Merdeka
berarti juga lawan dari perbudakan. Maka kemerdekaan itu diraih karena selamat
dari perbudakan. Apabila diucapkan ‘kemerdekaan segala hal’ maksudnya adalah
kebaikan hal tersebut. ‘Merdeka dari tanah dan debu’ berarti suci. ‘Tanah yang
merdeka, berarti tanah yang subur dan baik untuk tanaman. ‘Bumi yang merdeka’
berarti bumi yang patut didiami. Ringkasnya asal kalimat ini semua menunjuk
pada hal yang baik, suci dan kondusif. Karena itu, dalam pengertian ini manusia
merdeka adalah orang yang bersih sejarahnya, bening jiwanya, berpegang teguh
dengan sifat-sifat yang mulia, terhindar dari sifat-sifat yang rendah, terbebas
dari belenggu perbudakan dan mau menjalankan hal-hal yang menjadi kewajibannya[5].
Adapun menurut istilah para cendekiawan mempunyai
pandangan berbeda. Namun pendapat mereka dapat disatukan dengan pengertian
bahwa Al-Hurriyat adalah sifat mandiri yang dapat diekspresikankan
secara bebas tanpa terikat dengan hal-hal tertentu. Dari definisi ini maka kemerdekaan
mempunyai dua unsur yaitu kemandirian dan kebebasan. Negara yang merdeka adalah
negara yang mempunyai sifat mandiri serta bebas menjalankan pandangan dan
prinsipnya tanpa takut kepada negara lain. Begitu juga pribadi yang merdeka
adalah orang yang mampunyai kemandirian dalam pandangan dan sikap kemudian
mempunyai ruang kebebasan untuk mengekspresikan pandangannya tanpa takut kepada
orang lain.
Merdeka dalam pengertian ini berproses dari tarbiyah
nafsiyyah yang baik kemudian penyempurnaan kekuatan irodah, kemudian
penguasaan ilmu yang mendalam, kemudian dilanjutkan dengan melepaskan belenggu serta
pengaruh orang lain secara proporsional. Apabila proses ini tidak berhasil maka
merdeka menjadi sembarangan yaitu sifat kebablasan yang justru menakutkan dan
mengganggu orang lain. Karena itu, merdeka bukanlah bebas mengekspresikan
sesuatu yang dapat menyinggung perasaan orang lain. Merdeka bukan juga melakukan
aksi yang dapat merendahkan martabat manusia, mengebiri sifat malu, mengobral
syahwat apalagi menghancurkan nilai-nilai keluhuran[6].
Menurut Yusuf Qardhawi,
kemerdekaan merupakan hadiah langsung dari Allah Swt kepada manusia sejak
pertama di ciptakan. Artinya setiap manusia yang baru di lahirkan sesungguhnya
telah memiliki kemerdekaan. Dalam pandangan ini Qardhawi mengutip ucapan Umar
bin Khottab kepada Amr bin Ash yang saat itu menjabat gubernur di Mesir. Ungkapan
itu bermula ketika Umar menerima pengaduan dari seorang pemuda koptik berkaitan
dengan perlombaan pacuan kuda yang dimenangkan putra sang gubernur secara
rekayasa. Kemudian setelah masalah kedua belah pihak berhasil diselesaikan
beliau berkata kepada Amr :
…متى
إستعبدتم النّاس وقد ولدتهم أمّهم أحرارا
Artinya :
“Kapan
engkau memperbudak manusia padahal ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam
keadaan merdeka” [7].
Pendapat yang sama juga
dikemukakan oleh Abdul Karim Utsman. Guru besar peradaban Islam di Kairo
University ini menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan landasan norma Islam yang
muncul sebagai fitrah manusia sejak lahir. Kemerdekaan merupakan hak alami bagi
manusia yang mesti dimiliki karena status kemanusiaannya. Jika binatang berbuat
menurut dorongan Gharizahnya, maka manusia berbuat karena irodahnya. Dan
sifat irodah ini tidak dapat terealisasi kecuali dalam naungan kemerdekaan yang
sempurna. Tetapi kemerdekaan ini tidak boleh menghancurkan prinsip dan norma
mayarakat umum sebagaimana juga tidak boleh mengebiri kemerdekaan orang lain.
Lebih jauh beliau mengatakan bahwa kemanusiaan dan kemerdekaan merupakan dua
prinsip bersaudara yang menjadi asas pembangunan mayarakat yang maju dan
beradab[8].
- Macam-macam kemerdekaan
Secara umum Islam memandang ada tiga macam kemerdekaan,
yaitu : Kemerdekaan individu (Hurriyah Al-Fardi), kolektif (Hurriyah
Al-Jama’i), dan kemerdekaan ekonomi (Hurriyatu Al-Iqtishadi). Kemerdekaan
indifidu merupakan dasar kemerdekaan sosial. Karena struktur sosial terdiri
dari kumpulan indifidu. Karena itu hilangnya kemerdekaan individu berarti
musnahnya kemerdekaan sosial.
1. Kemerdekaan individu ini mempunyai macam sebagai berikut :
- Kemerdekaan beragama yaitu kebebasan yang di miliki setiap orang untuk memeluk agama dan keyakinan masing-masing serta melaksanakan ketentuan sesuai agama dan keyakinannya tersebut. Allah Swt berfirman :
لا إكراه فى الدّين قد تبيّن الرّشد من الغيّ
Artinya :
“tidak ada paksaan dalam agama telah jelas jalan petunjuk dari jalan
yang sesat”.
Dalam ayat lain,
من شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر
Artinya
:
“barang siapa yang megnginkan maka hendaklah ia beriman dan barang siapa
menginginkan maka hendaklah ia kufur”.
Terkait dengan hal ini maka bagi orang yang beriman
kepada Allah Swt harus memahami lima perkara yang menjadi konsekwnsi
keimanannya. Pertama, Tidak boleh memaksa orang lain untuk meninggalkan
atau memeluk agama tertentu. Kedua, memberikan kebebasan kepada pemeluk
agama atau keyakinan lain untuk melaksanakan ritual mereka di lingkungan
masyarakat Islam. Oleh karena itu seorang mukmin di larang memecahkan salib,
menghancurkan gereja, sinagog atau tempat ibadah lainnya. Ketiga, memberikan
kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk melaksanakan ajaran mereka berkaitan
dengan Ahwal as-Syahsiyah seperti, pernikahan, perceraian, nafkah dan
lain-lain. Keempat, memberikan kebebasan kepada pemeluk agama lain untuk
mengkonsumsi apa-apa yang dihalalkan oleh agama mereka seperti dalam bab
makanan, sembelihan dan lain-lain. Kelima, menjaga kehormatan dan
hak-hak mereka serta meninggalkan perdebebatan sengit tentang keyakinan mereka[9].
- Kemerdekaan berfikir dan berpendapat ( حرّية التّفكبر والرّاي ). Dalam hal ini seorang mukmin harus memahami bahwa diantara penghargaan Allah kepada manusia secara umum adalah memberikan akal dan pikiran bagi mereka. Dengan akal ini manusia manjadi mahluk paling istimewa. Ia merupakan alat utama untuk memperoleh ilmu. Dan potensi berfikir ini tidak akan maksimal kecuali dalam naungan kemerdekaan berfikir. Seorang budayawan sekaligus pemikir Islam kondang berkebangsaan Mesir Abbas Mahmud Al-Aqqad berkata :
التّفكير فريضة إسلاميّة, فلا تكن عبدا على النّاس
Artinya
:
“Berfikir
itu kewajiban Islam, maka janganlah kamu menjadi budak orang lain”[10].
Allah menganugerahkan akal kepada
manusia supaya di gunakan untuk mengenal keagungan ciptaan-Nya. Setelah itu
kemudian mengimani Allah dengan sepenuh pemahaman dan kesadaran. Syeh Ghozali
menyatakan bahwa keimanan kepada Allah ini harus diawali dengan ma’rifat bil
kaun. Beliau berpendapat bahwa bagi orang beriman Fiqhul kaun
merupakan prasyarat utama dalam keimanan. Tanpa proses ini maka keimanan
menjadi keyakinan yang rapuh karena tidak mempunyai akar pondasi yang kokoh[11].
Muhammad Abduh bahkan melarang keimanan seseorang karena taqlid. Menurut Abduh
keimanan kepada Allah harus dilandasi pemahaman yang mandiri. Artinya ketika
muncul pertanyaan apakah definisi iman kepada Allah?, bagaimana kita beriman?
dan kenapa kita beriman?. Maka sesorang harus mempu menjawabnya dengan
rasional. Barulah imannya di nyatakan benar dan sah[12].
Dari keterangan ini tampak nyata bahwa perintah menggunakan akal sebagai
anugerah termulia harus di imbangi dengan keimanan yang kuat (fiqhul iman).
Untuk
mendukung statement ini, maka banyak dalam ayat Al Qur’an diakhiri dengan يعقلون,ينظرون, يتفكّرون, يتدبّرون,
dan lain-lain. Contoh,
كذالك يبيّن الله لكم الأيات
لعلّكم تتفكّرون فى الدّنيا والأخره ...(البقره : 219 )
Artinya :
“Demikianlah
Allah menjelaskan kepada kalian tanda-tanda (kekuasaan)-Nya supaya kalian
memikirkannya di dunia dan akhirat” (Al-Baqarah : 219).
أولم ينظروا فى ملكوت السّموات
والأ رض وما خلق الله من شيئ (الأعراف :
185)
Artinya :
“Tidakkah
mereka melihat pada malakut langit dan bumi dan pada sesuatu yang telah Allah
ciptakan”
( Al-A’raf : 185 )
Secara
historis kita dapat mengetahui bahwa ketika ajaran ini di ejawentahkankan dalam
kehidupan, maka kemajuan terjadi dalam semua bidang seperti hukum, sosial, ilmu
pengetahuan, pendidikan dan lainnya. Akar kemajuan ini semakin tampak jika
melihat kehidupan berpikir masyarakat arab sebelum datang akidah tauhid
dilingkungan mereka[13].
Namun demikian ada satu hal yang
Islam melarang umatnya untuk berfikir yaitu tentang Dzat Allah SWT. Hal ini
disebabkan akal manusia tidak akan sampai pada wilayah tersebut. Dzat Allah
lebih besar dari pada pikiran manusia. Jika dipaksakan justru akan membuat
musibah baru dalam pemikiran, disamping telah melakukan hal yang sia-sia
belaka, yaitu menghambur-hamburkan potensi untuk sesuatu yang tidak akan bisa (La
yamutu wala yahya)[14].
Apabila Islam telah memberikan
kemerdekaan berfikir, maka Islam juga memberikan kemerdekaan untuk
mengekspresikan hasil-hasil pikirannya yaitu berpendapat tentang apapun baik
dengan lisan maupun tulisan (Hurriyatu Ar-Ra’yi). Islam menganjurkan umatnya
untuk berpendapat tanpa merasa takut kepada siapapun selain Allah. Rasulullah
bersabda “Orang yang diam dari sesuatu yang haq adalah syaitan yang bisu”.
Lebih dari itu Rasulullah bahkan memberikan keistimewaan bagi orang yang mati
karena membela pendapatnya sebagai syahid. “Pemimpin para Syuhada adalah
Hamzah bin Abdul Muthalib, kemudian orang yang datang kepada pemimpin yang
lalim dan mengatakan sesuatu yang haq hingga pemimpin itu membunuhnya”[15].
2. Kemerdekaan
sosial. Yaitu kebebasan untuk bermasyarakat kapanpun dan dimanapun. Kemerdekaan
ini juga memberikan kebebasan kepada
manusia untuk berserikat dan mengadakan perkumpulan apapun dan dengan siapapun.
Yang penting tidak bertentangan dengan mashlahat agama dan umum (Mashlahat
ad-diniyyah wa al-‘Aammah). Dalam pandangan Abdul Karim Ustman, kemerdekaan
ini disebut sebagai kemerdekaan politik (Al-Hurriyat As-Siyasiat). Namun
demikian ada masalah yang sampai sekarang masih menjadi polemik yaitu masalah
perbudakan (Ar-Riqq). Disatu sisi Islam menyebutkan hal ini dalam
ajarannya terutama pada bahasan fiqih Islam, sementara pada sisi yang lain
Islam mengarahkan ‘moncong’ teologinya pada kemerdekaan manusia secara luas[16].
3. Kemerdekaan Ekonomi. Yaitu kebebasan yang dimiliki
manusia untuk mengelola potensinya guna menghasilkan harta benda. Baik dengan
cara jual beli, gadai, hutang, sewa, upah, maupun cara lain yang baik. Bagi
orang beriman tidak diperkenankan memaksakan kehendak orang lain dalam bidang
ini. Yang penting, ketika prinsip sebagai hamba Allah tetap terpelihara maka
persoalan kemerdekaan tetap ada[17].
- Hikmah Kemerdekaan
Ketika memasuki Baitul Maqdis, Umar RA diminta seorang
pendeta untuk berkenan melakukan shalat disalah satu gereja disana. Namun
dengan halus beliau menolaknya. Ketika salah seorang sahabat beliau menanyakan
alasannya dengan bijak Umar menjawab : “Saya takut jika saya melakukan
shalat disitu esok hari umat Islam mengakui gereja itu sebagai milik mereka,
kemudian meminta paksa seluruh gereja
yang ada ditempat ini”.
Walaupun mungkin ada alasan lain, namun setidaknya alasan ini
mengindikasikan bahwa Islam sangat menghormati wujud keyakinan lain. Bukan pada
orangnya saja tetapi juga pada semua hal yang menjadi konsekwensi wujud mereka,
termasuk tempat ibadah. Pemahaman ini dapat ditemukan dalam Al Qur’an :
فإن حاجّوك فقل أسلمت وجهي لله ومن اتّبعن, وقل للّذين أوتوا
الكتاب والأميّين أأسلمتم فإن أسلموا فقد اهتدوا وإن تولّوا فإنّما عليك البلاغ, والله
بصير بالعباد (ال عمران : 20)
Artinya :
“Maka
ketika mereka membantahmu katakanlah saya berpasrah kepada Allah dan juga
orang-orang yang mengikutiku. Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi
Al-Kitab dan orang-orang ummi apakah kalian tunduk (kepada Allah). Apabila
mereka tunduk berarti mereka telah memperoleh petunjuk. Dan apabila mereka
berpaling maka sesungguhnya tugasmu hanyalah meyampaikan. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui hamba-hamba-Nya”. (Ali Imran : 20)
Ayat diatas dengan jelas
memerintahkan kepada umat Islam untuk tidak memaksa umat lain dalam akidah. Inilah
yang di praktekkan generasi sahabat dan salafus shalih yang sangat faham dengan
ajaran agama. Dari sikap ini maka lahir kehidupan yang harmonis antar pemeluk
agama. Syeh Ghazali menuturkan “Belum ada kerukunan antar agama dimuka bumi
ini yang berjalan dengan sangat baik melebihi apa yang pernah terjadi dalam
wilayah Islam ketika masa pemerintahan Islam. Bukti yang paling konkrit adalah
kerukunan hidup antara umat Islam, Yahudi dan Kristen di palesatina yang
berjalan bertahun-tahun hingga kemudian menjadi rusak setelah munculnya gerakan
zionisme”[18].
Kedua, adanya kemerdekaan terbukti
mampu melahirkan sikap mandiri yang kuat baik dalam sikap politik,
ekonomi maupun sosial. Kemandirian inilah yang kemudian melahirkan kemajuan.
Secara psycologi anak yang cenderung masih suka kumpul dengan orang tuanya
sulit untuk mencapai kemajuan secara luas. Namun jika sudah berpisah dan
merasakan betul perpisahan itu, maka akan melahirkan sikap positif yang luas.
Dalam sejarah Ilmu pengetahuan, guru besar filasat Islam di Universitas Al
Azhar Abdul Mu’thi Bayyumi menyatakan : “Sesungguhnaya kemajuan ilmu dan
pengetahuan di Spanyol, Maghrib dan wilayah-wilayah Islam lainnya itu tidak
lepas dari suhu kemerdekaan yang lahir dari ajaran Islam itu sendiri. Hal itu
semakin berkembang ketika didukung oleh penguasa seperti yang pernah terjadi
pada masa khalifah Al-Makmun pada masa Dinasti Abbasyiah[19]”
- Analisis dan kesimpulan
Keimanan
yang bersumber dari kalimat La ilaha illallah, sesungguhnya jika kita hujamkan
maknanya dalam hati secara mendalam, maka akan melahirkan sikap anti
perbudakan. Secara harfiyyah kata ‘La Ilaha’ artinya tidak ada Tuhan, menurut
ilmu mantiq bentuknya adalah nafi (negative). Sedangkan kalimat
‘Illallah’ yang berarti ‘kecuali Allah’ adalah itsbat (positif).
Keduanya jika berkumpul maka secara empiris akan melahirkan energi. Ini berlaku
secara umum pada wilayah fisik maupun non fisik. Karena itu Allah berfirman :
ومثل
كلمة طيّبة كشجرة طيّبة أصلها ثابت وفرعها فى السّماء تؤتى أكلها كلّ حين بإذن ربّها,
كذالك يضرب الله الأمثال
Artinya :
“Dan
perumpamaan kalimat yang baik (kalimat tauhid) itu seperti pohon yang baik.
Akarnya tertancap kuat dan dahannya menjulang ke langit. Setiap saat buahnya
muncul dengan izin Tuhannya. Demikianlah Allah membuat perumpamaan”
Menurut Sa’id Hawwa, yang dimaksud ‘أكلها’ adalah semua
sikap-sikap positif termasuk diantaranya adalah sikap merdeka[20].
Oleh karena itu sungguh benar ketika Rub’ay bin Amir ditanya oleh Rustum
panglima perang kerajaan Persia ‘Mengapa engkau berperang dengan kami ?’.
Rub’ay menjawab :
إبتعثنا
الله لنخرج النّاس من عبادة العباد الى عبادة الله وحده ومن ضيّق الدّنيا الى
سعتها ومن جور الأديان الى عدل الإسلام
Artinya :
“Allah
telah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari menyembah hamba kepada
menyembah Allah semata, dan dari kesempitan dunia menuju keluasannya serta
dari kelaliman agama menuju pada keadilan Islam”.
Dari wawasan diatas, dapat ditarik
benang merah bahwa semakin tinggi keimanan sesorang maka akan semakin luas
pandangannya tentang kemerdekaan, baik untuk sekala indifidu maupun sosial.
Kendati
demikian harus dipahami bahwa didunia ini tidak ada kemerdekaan yang mutlak.
Artinya suatu kemerdekaan jika di ekspresikan dengan sebebas-bebasnya, maka
pasti akan mengganggu kemerdekaan orang lain. Karena itu mesti diperlukan
pengikat yang permanen. Dalam ajaran Islam pengikat itu adalah Allah Swt yang
kita rasakan kehadirannya dalam hati kita. Maka itulah sebaik-baik pengikat.
IV. PENUTUP
Para ahli
Hikmah berkata : ‘keimanan itu tidak ditunjukkan dengan kalam melainkan harus
dibuktikan pada alam”. Diantara pembuktian itu adalah prinsip ‘dengan iman
semua menjadi nyaman. Sebaliknya tanpa iman maka tidak ada kedamaian’.
Agaknya ungkapan
diatas betul-betul membutuhkan pembuktian dalam kehidupan nyata. Setidaknya
untuk menunjukan bahwa masalah keimanan bagi umat Islam merupakan pangkal ‘keberkahan’
bagi siapapun.
Wallahu ‘alam…
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh Muhammad, Risalatu
et-Tauhid, Maktabah Wahbah, Kairo, 1986
Abdullah Nasih Ulwan, Al-Islam
Wa er-Riqq, Dar es-Salam, kairo, 1992
Abdul Karim Ustman, Ma’alim
el-Tsaqafah el-Islamiyyah, Muassasah al-Anwar Riyadh, 1978
Al-Aqqad
Abbas Mahmud, Haqaiqu el-Islam wa Abathilu Hushumihi. Dar el-Jail,
Bairut, 1994
Al
Hasyimi, Muhtar el-Ahadits, Dar el-Ihya kutubu el-Arabiyah, Indonesia,
2006
Al-Ghalayin Musthafa, Idzatu en-Na
Syi’in, Maktabah el-Asyriyah, Bairut, 1953
Bayyumi Abdul Mu’thi, Al-Madkhol
li dirosati el-Falsafah el-Islamiyyah, Maktab Al-Azhar, 1997
Ghazali Abu Hamid, Misykatul
Anwar, Dar-El Kutub Ilmiyyah, Bairut, 1996
Ghazali Abu Hamid, Iljamu
el-Awam fi ‘Ilmi el-Kalam, Dar el-Kutub al-ilmiyyah, Bairut, 1986
Ghozali Syekh, Kaifa Nata’amalu
ma’a et-Turast el-Islamy, Dar el-Syuruq, kairo, 1993
Ghazali
Syekh, Al-Khutbah el-Mimbariyah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1999
Hawwa Said, Al-Islam,
Dar el-Salam, Kairo 1995
Ibnu Taimiyah, Al-Aqa’id
el-Islamiyah. Maktabah Wahbah, Kairo, 1989
Ibnu Qudamah, Minhaju
el-Qashidin, Dar el-Fikr, Bairut, 1987
Jurji Zaidan, Tarikh
Tamaddun el-Islamy, Maktabah Madbuli, Kairo 1978
Qutb Sayyid, Ma’alim
Fi At-thariq, Dar el-Syuruq, 1970
Qardhawi
Muhammad Yusuf, Khasaisu el-Aâmmah li el-Islam, Muassasah er-Risalah,
Bairut, 1993
Qutb Muhammad, La
ilaha illallah manhaj el-Aqidah wa el-hayah, Da El-Syuruq, Kairo, 1994
VCD Islam, An-Nashir
Shalahudin, Muntaj el-Aflam el-Arabiy 1998.
[1]. Ghazali, Abu Hamid, Misykatul
Anwar, Dar-El Kutub Ilmiyyah, Bairut Libanon, 1996, h.67
[2]. Al Hasyimi, Muhta El-Ahadits,
Dar El-Ihya kutubul Arabiyah, Indonesia, 2006, h.58
[3]. Muhammad Qutb, La
ilaha illallah manhaj el-Aqidah wa el-hayah, Da El-Syuruq, Kairo, 1994, h.12
[4]. Sayyid Qutb, Ma’alim
Fi-Atthariq, Dar El-Syuruq, 1970, h.123
[8]. Abdul Karim Ustman, Ma’alim
At-Tsaqafah Al-Islamiyyah, Muassasah al-Anwar Riyadh, 1978, H. 58. Kendati
demikian sesungguhnya semua bentuk kemerdekaan atau kebebasan itu tidak ada
yang mutlak (Al-Hurriyah al-Mutlaqah). Seorang mukmin ketika bertauhid,
maka dia merasakan kemerdekaan kepada selain Allah. Tetapi ia tetap menjadi hamba Allah yang menjadi
satu-satunya ‘majikan’.
Berbeda dengan orang musyrik yang mempunyai banyak ‘majikan’sehingga
betul-betul menyulitkan hidupnya.Lihat Ibnu Taimiyah, Al-Aqa’id Al-Islamiyah.
Maktabah Wahbah, Kairo, 1989, h. 7
[9]. Berdamai dan tidak
berdebat ini merupakan ketentuan asal dalam bermu’amalah dengan pemeluk agama
lain. Adapun kemudian muncul keadaan yang mengharuskan seorang mukmin berdebat
atau berperang dengan mereka, maka hal itu diperbolehkan dengan catatan tetap
mengambil cara paling baik dan bijak. Allah Swt menegaskan “Dan janganlah
kalian berdebat dengan Ahli kitab kecuali dengan cara yang paling baik, kecuali
kepada orang-orang yang belaku dzalim dari mereka”(Al-Ankabut :46). Abdul
Karim Utsman, Op.Cit, H. 62.” Lihat juga komentar Shalahudin Al-Ayyubi
yang pernah meminta Richard pemimpin pasukan salib untuk tidak meminta kunci
Yerussalem, tetapi ia berjanji memberikan kelonggaran kepada orang Kristen
kapan saja untuk mengunjungi Al-Quds. VCD Islam, An-Nashir Shalahudin,
Muntaj al-Aflam Al-Arabiy 1998.
[10]. Al-Aqqad, Haqaiqul
Islam wa Abathilu Hushumihi. Dar el-Jail, Bairut, 1994, h. 133
[11]. Ghozali Syekh, Kaifa
nata’amalu ma’a at-Turast al-Islamy, dar el-Syuruq, kairo, 1993, h. 20
[12]. Abduh, Risalatu
at-Tauhid, Maktabah Wahbah, Kairo, 1986, h. 11
[13]. Patung-patung dan sesembahan
lain selain Allah menjadi penentu kehidupan masyarakat arab. Jika tertimpa
musibah mereka datang kepada patung yang tak dapat berbuat apa-apa. Begitu juga
ketika akan melakukan atau meninggalkan sesuatu mereka meminta petunjuk patung
tersebut yang terkadang dengan membawa sesajen atau qurban. Akal mereka seperti
tidak berfungsi dengan baik. La yamutu wala yahya (Tidak bermutu
membuang-buang biaya). Dalam sejarah masa ini dikenal dengan masa Jahiliyah
artinya kebodohan karena mematikan pikiran mereka. Lihat Jurji Zaidan, Tarikh
Tamaddun al-Islamy, Maktabah Madbuli, Kairo 1978, h. 19
[14]. Allah Swt adalah Tuhan
yang menciptakan akal. Jika dzat Allah dapat dikuasai oleh akal berarti Allah
lebih rendah dari akal. Selanjutnya muncul kemungkinan kekuasaan Allah dapat
dikalahkan akal manusia. Wal ‘Iyadzu billah. Ini adalah hal yang
mustahil. Jika berfikir dalam wilayah ini tetap dipakasakan, maka akan menjadi
kesempatan bagi syaitan untuk menguasai hati dan pikiran manusia. Akibatnya
mereka semakin gila dan menjadi-jadi. Lihat Al-Gozali, Iljamul awam fi ‘Ilmi
al-kalam, Dar el-Kutub al-ilmiyyah, Bairut, 1986, h. 23. Lihat juga Ibnu
Qudamah, Minhaju al-Qashidin, Dar el-Fikr, Bairut, 1987 h. 187. bahkan
beliau mengutip Hadits Rasul yang dikumpulkan oleh Imam Abu Dawud “hampir-hampir
manusia itu selalu bertanya sehingga mereka berkata inilah Allah yang
menciptakan alam semesta, maka siapakah yang menciptakan Allah ?”.
[15]. Peristiwa sejarah yang
mencerminkan kemerdekaan berpendapat ini banyak terjadi pada masa sahabat maupun
tabi’in sebagai generasi yang kuat keimanannya. Diantaranya peristiwa Umar
ketika dikritik memakai pakaian yang dianggap sebagai hasil korupsi, kejadian
Umar Ra ketika dikritik seorang perempuan tentang masalah mahar, peristiwa
Muawiyah ketika dikritik Abu Muslim dan lain-lain. Abdul Karim Utsman, Op.Cit.,
h. 65
[16]. Masalah perbudakan
merupakan sistem yang sudah ada sebelum Islam dan masih menjadi fenomena sosial
dan ekonomi dimanapun pada masa Islam. Namun jika dilihat dengan jujur pada
ajaran Islam, maka Agama ini banyak memberikan kemerdekaan para budak. Misalnya
kafarat puasa, sumpah dan lain-lain yang mengharuskan seorang yang dihukum dengan
cara membebaskan seorang budak. Belum lagi hadits-hadits Rasul yang mendorong
umat Islam untuk memerdekakan budak sebagai amal ibadah yang luhur. Kesimpulannya,
Islam mengakui perbudakan yang masih menjadi fenomena pada masa agama ini
diturunkan, tetapi memberikan ruang yang banyak untuk kebebasan para budak.
Sementara itu Islam hanya merestui satu pintu yang menjadi sebab perbudakan yaitu
karena ghonimah. Lebih jelas baca Abdullah Nasih Ulwan, Al-Islam Wa Ar-Riqq,
Dar es-Salam, kairo, 1992.
[17]. Al-Ghalayin, Op.Cit.,
h. 92
[18]. Ghazali Syekh, Al-Khutbah
al-Mimbariyah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1999, h. 277
[19]. Bayyumi Mu’thi, Al-Madkhol
li dirosati al-Falsafah al-Islamiyyah, Maktab Al-Azhar, 1997. h. 15
[20]. Hawwa Said, Al-Islam,
Dar El-Salam, Kairo 1995. h. 89
Komentar
Posting Komentar