Nikah dalam Perspektif Islam

PENDAHULUAN
Segala puji dan syukur selalu tercurahkan kepada Allah SWT yang telah menjadikan makhlukNya berpasa-pasangan salawat beserta salam selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menjadi cerminan hidup manusia. Menikah adalah sunah Rasulullah saw, untuk dilaksanakan oleh umatnya. Menikah adalah jalan kemuliaan yang diridhai dan dimudahkan pengaturannya dalam islam, dengan menikah banyak kebaikan dan barakah yang dinikmati oleh seseorang, dengan menikah pula, seseorang dapat terhindar dari kemaksiatan dan kehinaan yang sekarang ini sedang dipromosikan besar-besaran. Semakin majunya zaman semakin berkembang masalah yang ditimbulkan, kebanyakan manusia memandang hukum yang telah disyari’atkan islam kepada umat islam
Dalam penulisan ini saya akan mencoba menjelaskan sedikit dari apa yang saya nukil dari kitab-kitab klasik tentang Nikah  dalam islam yang dimaksud dimensi dalam tulisan ini adalah pandangan lima mazhab yaitu  Imamiyah, Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi’I  serta segala permasalahannya, yang mana diambil dari kitab ruju’kan salah satunya adalah , Al Qolyubi wa Umairah, serta kitab-kitab lain yang menjadi dalil pengambilan dari apa yang saya tulis. Mudah mudahan bisa bermanfaat bagi pembaca dalam mengarungi lentera kehidupan rumah tangga. Mohon ma’af jika ada kekeliruan dalam tulisan ini dikarenakan masih sangat minimnya penulis, dan terima kasih kepada guru-guruku yang telah menugaskan tugas ini sehingga saya berkesempatan menggali ilmu yang masih sedikit ini untuk menulisnya dalam risalah ynga sangat ringkas ini yakni seputar nikah dan permasalahan dalam pandangan mazhab






BAB I
NIKAH
A.    Pengertian Nikah
Nikah menurut bahasa adalah kumpul/jima والطء menurut syara adalah aqad yang memperbolehkan jima dengan نكاح او تزويج, nikah juga disebut mengambil manfaat,  Haqiqat nikah adalah dalam akad dan majaz dalam wath’I, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah[1]. Nikah juga bisa di definisikan dengan pengetian sebagian ulama Fuqaha yaitu akad yang berfaidah halalnya istimna bagi setiap orang yang berakad secara syar’i[2].
Menurut Abu Hamid Asy-Syarwani “Nikah ditinjau dari lughat bahasa berarti kumpul atau menginjak dan secara terminologi islam nikah secara sederhana memiliki pengertian bentuk aqad/ikatan yang menjadi perantara diperbolehkannya melakukan hubungan seksual[3] dengan menggunakan kata Nikah, Tajwiz atau terjemahannya”. Lebih jauh nikah merupakan kehendak Allah SWT untuk mengangkat derajat makhluqnya yang benama manusia, nikah bukan sekedar pemenuhan biologis sebagai naluri dasar yang dimiliki manusia. Tapi merupakan ikatan dua makhluk yang berbeda, baik wataknya, ikatan pernikahan merupakan simbol kesiapan sepasang anak adam untuk mengarungi samudra kehidupan.



B.     Nikah Dan Hukumnya
Hukum menikah itu sangat tergantung pada keadaan orang yang hendak melakukan tadi, jadi hukum nikah itu dapat di klasifikasikan sebagai berikut :
1.      Wajib. yaitu apabila orang yang hendak menikah telah mampu sedang ia tidak segera menikah amat dikhawatirkan akan berbuat zina
2.      Sunnah, yaitu mana kala orang yang hendak menikah menginginkan sekali punya anak,tetapi ia mampu mengendalikan diri.dari perbuatan zina,baik ia sudah berminat menikah atau belum.walaupun jika menikah nanti ibadah sunnah yang sudah biasa ia lakukan akan terlantar
3.      Makruh, yaitu apabila orang yang hendak menikah belum berminat punya anak,juga belum pernah menikah sedangkan ia mampu menahan diri dari berbuat zina.padahal ia menikah sunnahnya terlantar.
4.      Mubah, yaitu apabila orang yang hendak menikah mampu menahan gejolak nafsunya dari berbuat zina.,sementara ia belum berminat memiliki anak dan seandainya ia menikah ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar
5.      Haram, yaitu bagi orang yang apabila ia kawin,justru akan merugikan istrinya karena ia tidak mampu memberi nafkah lahir dan nafkah bathin.atau jika menikah ia akan cari mata pencaharian yang di haramkan Allah SAW, walaupun orang tersebut sudah berminat menikah dan ia mampu menahan gejolak nafsunya dari berbagai zina. Padaha bahwa hukum menikah tersebut juga berlaku bagi kaum wanita.
Ibnu Arafah menambahkan,bahwa bagi wanita hukum menikah itu wajib,apabila ia tidak mampu mencari nafkah bagi dirinya sendiri sedangkan jalan satu-satunya untuk menanggulangi adalah menikah.
C.    Rukun Nikah
Ulama mazhab berbeda pendapat tengtang rukun nikah, dalam kitab al Qolyubi wa Umairah. Rukun nikah terbagi menjadi lima yaitu “ Shighat, calon suami, calon istri, dua saksi, dan wali. Shighat didalam nikah, didahulukan karena hal yang terpenting dan menjadi sebab dalam perkawina, kemudian menghadirkan dua saksi , karena keduanya menjadi sebab sahnya aqad pernikahan, dan juga dihadirkan wali dari mempelai perempuan untuk akad nikah[4].
Kunci sah dan tidaknya nikah adalah tergantung pada terpenuhi dan tidaknya rukun nikah[5]. Adapun Rukun secara bahasa berarti tiang penyangga, yang akan menguatkan sesuatu yang berada diatasnya. Rukun adalah sesuatu yang harus dipenuhi dalam amalan amalan yang ada dalam islam maka ketergantungan rukun tersebut menjadi kunci sahnya sesuatu. Untuk masalah nikah ada lima rukun yang telah disebutkan diatas
Lima perkara yang ditetapkan diatas adalah sesuai dengan syariat Islam. Ini dikarenakan lima perkara ini adalah bagian dari rukun nikah di dalam mazhab Syafi’i[6]
Rukun nikah menurut mazhab Hanafi pula ada dua : yaitu ijab qabul.[7]Menurut mazhab Hanbali, rukun nikah ada tiga yaitu calon mempelai (suami dan istri) yang sepi dari penghalang berlangsungnya nikah seperti mahram, ijab, dan qabul[8]. Menurut mazhab Maliki, rukun nikah ada lima yaitu : wali, mahar (mas kawin), calon suami, calon istri, dan shighat.[9]
Dr. Wahbah al-Zuhayli mengkritisi, bahwa rukun nikah pada dasarnya hanya ada empat: shîghat, calon istri, calon suami, dan wali. Calon suami dan wali merupakan orang yang melakukan akad nikah. Manakala perkara yang diakadkan adalah kenikmanat seksual yang dicari suami dan istri dalam pernikahan. Sedangkan mahar sama seperti saksi dalam pernikahan, yang hanya menjadi syarat sebuah pernikahan dengan argumentasi diperbolehkannya melakukan nikah al-tafwidl. Begitu juga dengan saksi, ia adalah syarat juga. Berhubung dengan kedudukan mahar dan saksi yang tersebar luas sebagai rukun nikah, pada hakikatnya tidak tepat karena penerimaan kedua-dua perkara itu sebagai rukun hanyalah istilah yang digunakan sebagian ahli fiqh.[10]Hannya itu saja kunci sah dan tidak sahnya akad nikah, kurang satu saja dari salah satu rukun ini maka tidak bisa dikatan sah pernikahan tersebut.
a.      Syarat bagi kedua mempelai
         Para ulama mazhab sepakat bahwa “ Berakal dan Baligh merupakan syarat dalam perkawinan, juga disyaratkan bahwa kedua mempelai mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan yang lain.
         Selanjutnya Ulama Mazhabpun sepakat orang yang melakukan akad nikah (mempelai wanitadan laki-laki) sudah barang tentu jelas orangnya sehingga dipandang tidak sah akad nikah yang berbunyi” saya kawinkan kamu dengan salah seorang dari kedua diantara ini” tanpa adanya ketentuan yang mana diantara kedua tersebut yang dinikahi.
         Seluruh Mazhab sepakat bahwa pernikahan harus dilakukan secara suka rela tidak ada paksaan diantara keduanya, kecuali Hanafi yang memperbolehkan nikah dengan paksaan.
         Imamiyah mengatakan” kehendak sendiri dalam pernikahan adalah salah satu syarat bagi kedua mempelai yang menjadi sahnya akad.
         Para Ulama Mazhab sepakat bahwa haidh dan hamil merupakan bukti kebalighannya seorang wanita. Hamil terjadi karena ada pembuahan ovum seperma, sedangkan haidh kedudukanya sama.
         Imamiyah, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan “ tumbuhnya bulu-bulu ketiak merupakan bukti balighnya seseorang. Sedangkan Hanafi menolaknya, sebab bulu-bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan bulu-bulu lain pada tubuh.
         Syafi’I dan Hambali mengatakan bahwa “usia baligh bagi  anak laki-laki dan perempuan adalah lima belas tahun, sedangkan Maliki menetapkan tujuh belas tahun, sementara itu Hanafi menetapkan usia baligh laki-laki adalah delapan belas tahu, sedangkan anak perempuan tjuh belas tahun[11].
         Imamiyah menetapakan usia baligh bagi laki-laki lima belas tahun sedangkan perempuan sembilan tahun.
b.     Seorang wali dari pihak istri
         Dalam kitab Kifayatul Akhyar, sebuah kitab fiqih yang lazim digunakan di dalam mazhab Syafi’i, disebutkan urutan wali nikah adalah sebagai berikut:
1.      Ayah kandung
2.      Kakek, atau ayah dari ayah
3.      Saudara se-ayah dan se-ibu
4.      Saudara se-ayah saja
5.      Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu
6.      Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja
7.      Saudara laki-laki ayah
8.      Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah
         Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak. Sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka.
         Perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan umat, yang dilimpahkan kepada wanita yang sempurna, karena kekurangan tetentu pada orang yang dikuasainya, demi kemaslahatan sendiri, pembahasan dalam wali ini meliputi hal hal tersebut.
         Syafi’I, Maliki, Hambali berpendapat : “Jika wanita yang baligh dan berakal sehat itu masih Gadis maka hak mengawininya ada pada wali, akan tetapi jika Janda, maka hak itu ada pada keduanya wali tidak boleh mengawini janda itu tanpa ada persetujuan dari janda tersebut, sebaliknya janda tesebut tidak boleh mengawini dirinya tanpa ada persetujuan sang wali. Namun pengucapan akad adalah hak wali”.
         Hanafi, mengatakan bahwa “ wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya.
         Mengenai wali nikah dia merupakan unsur yang penting bagi mempelai wanita yang akan bertindak untuk menikahkannya, yang menjadi wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni Muslim, Akil, dan Baligh. Wali nikah tersebut terdiri dari wali nasab dan wali hakim. Ditetapkannya wali nikah sebagai rukun perkawinan karena untuk melindungi kepentingan wanita itu sendiri, melindungi integritas moralnya serta memungkinkan terciptanya perkawinan yang berhasil. Institusi perwalian dalam perkawinan lebih bersifat kewajiban dari pada hak. Paling tidak merupakan sintesis dari keduanya Pernikahan harus dilangsungkan dengan wali. Apabila dilangsungkan tidak dengan wali atau walinya bukan yang berhak maka pernikahan tersebut tidak sah.
         Adapun wali itu ada dua macam, yaitu wali nasab dan wali hakim[12].
1.      Wali Nasab
   Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita , yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut :
a.      Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni ( yang berarti dalam garis keturunan tidak ada penghubung yang wanita) yaitu :
·         Ayah
·         Ayah dari ayah
·          Dan seterusnya keatas.
Catatan : Ayah dari ibu atau ayah dari ibu si ayah tidak berhak menjadi wali, karena dalam garis keturunan itu terdapat penghubung wanita yang berarti garis keturunan pria sudah tidak murni lagi dengan terdapat jenis wanita sebagai penghubung dalam keturunan tersebut.
b.      Pria keturunan ayah mempelai wanita dalam garis pria murni yaitu .
1.      Saudara kandung
2.      Saudara seayah
3.      Anak dari saudara kandung
4.      Anak dari saudara ayah
5.      Dan seterusnya ke bawah
Catatan : Saudara se ibu, anak saudara wanita atau anak dari anak wanita saudara pria tidak berhak menjadi wali karena dalam garis keturunannya terdapat penghubung wanita (garis yang menghubungkannya melalui seorang wanita)
c.       Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu :
1.      Saudara kandung dari ayah
2.      Saudara sebapak dari ayah
3.      Anak saudara kandung dari ayah
4.      Dan seterusnya kebawah
Catatan: Saudara seibu dari ayah , anak saudara wanita dari ayah atau dari anak wanita si ayah tidak berhak menjadi wali karena dalam garis keturunan itu terdapat penghubung wanita :
ü  Pria keturunan dari ayahnya si ayah
ü  Dan seterusnya.
           Apabila wali tersebut diatas tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal atau rusak pikirannya atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis maka hak menjadi wali pindah kepada wali berikutnya,
           Contoh : Seorang calon mempelai wanita yang sudah tidak mempunyai ayah kakek lagi, sedang saudara-saudaranya yang ada belum ada yang baligh dan juga tidak mempunyai wali yang terdiri dari keturunan ayah (misalnya keponakan) maka yang berhak menjadi wali adalah saudara kandung dari ayah.
2.      Wali Hakim
               Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan, Sebagaimana diuraikan terdahulu, apabila seorang calon mempelai wanita :
1.      Tidak mempunyai wali nasab sama sekali ,
2.      Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya, atau
3.      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada,
4.      Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masafatul qosri (atau sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qosor) yaitu 92,5 km.
5.      Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai,
6.      Wali Adlal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan, atau Penolakan wali dalam mengawinkan anak gadisnya dalam fikih disebut wali adlal .
7.      Wali sedang melakukan ibadah haji/umroh. Maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Kecuali apabila wali nasabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali. Dalam hal demikian orang lain yang diwakilkan itulah yang berhak menjadi wali.
Catatan : Dizaman modern dewasa ini, meskipun jarak Masafatul Qosri telah dipenuhi, untuk akad nikah wali perlu diberi tahukan terlebih dahulu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan.[13]
c.       Dua orang saksi
         Syafi’i, Hanafi, dan Hambali sepakat bahwa perkawinan itu tidak sah tanpa adanya saksi, tetapi Hanafi memandang cukup dengan hadirnya dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, tanpa disyaratkan harus adil. Namun mereka berpendapat bahwa kesaksian kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.
         Syafi’I dan Hambali berpendapat bahwa perkawinan harus dengan dua saksi laki-laki, Muslim dan Adil.
         Maliki berpendapat saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, tetapi wajib untuk pencampuran suami terhadap istrinya (dukhul). Kalau akad dilakukan tanpa seorang saksipun, akad itu dipandang sah, tetapi bila suami bermaksud mencapuri istri maka dia harus mendatangkan dua orang saksi, Apabila dia mencapuri istrinya tanpa dua orang saksi maka akad tersebut harus dibatalkan secara paksa, dan pembatalan akad ini sama kedudukan dengan talaq ba’in[14].
         Imamiyah berpendapat “ Kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah Istinbab, dianjurkan dan bukan merupakan kewajiban.
d.     Mahar ( mas kawin )
         Mahar berasal daripada perkataan Arab. Di dalam al-Quran istilah mahar disebut dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr, al-faridah dan al-‘aqd.
         Menurut istilah syara’ mahar ialah suatu pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri dengan sebab pernikahan.
         Mengikut Tafsiran Akta Undang-Undang Keluarga Islam menyatakan “ mas kahwin “ bererti pembayaran perkahwinan yang wajib dibayar di bawah Hukum Syara’ oleh suami kepada isteri pada masa perkahwinan diakadnikahkan, sama ada berupa uang yang sebenarnya dibayar atau diakui sebagai hutang dengan atau tanpa cagaran, atau berupa sesuatu yang, menurut Hukum Syara’, dapat dinilai dengan uang.
         Terdapat banyak dalil yang mewajibkan mahar kepada isteri antaranya firman Allah dalam surah al-Nisa’ ayat 4 :“ Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan (isteri) akan mas kahwin mereka itu sebagai pemberian (yang wajib). Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebahagian dari mas kahwinnnya, maka makanlah (gunakanlah) pemberian tersebut sebagai nikmat yang baik lagi lazat “
         Mahar adalah satu diantara hak istri yang didasarkan atas kitabullah, Sunah Rasul dan Ijma’ kaum muslimin. Mahar ada dua macam yaitu : Mahar Musamma dan Mahar  Mitsil
         Mahar Musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengantin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam akad nikah. Para ulama mazhab sepakat bahwa tidak ada jumlah maksimal dalm mahar tersebut. Akan tetapi mareka berbeda pendapat tentang batas minimalnya.
         Syafi’I, Hambali dan Imamiyah berpendapat “tidak ada batasan minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga jual beli boleh dijadikan mahar sekalipun hannya satu qirsy
         Hanafi mengatakan bahwa jumlah minimal mahar adalah sepuluh dirham. Kalau suatu akad dilakukann kurang dari itu, maka akad tetap sah, dan wajib membayar sepuluh dirham.
         Maliki mengatakan jumlah minimal mahar adalah tiga dirham, kalau akad dilakukan dengan jumlah kurang dari akad tersebut maka suami harus membayar tiga dirham, apabila dia belum mencampurinya maka dia boleh merusak akad dengan membayar separuh mahar musamma atau  meneruskan dengan membayar tiga dirham.
e.      Shighat atau Ijab Qobul
         Para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah  jika dilakukan dengan akad, yang mencakup Ijab dan Qabul antara wanita yang dilamar dengan laki-laki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikanya seperti wakil dan wali, dan tidak sah hannya semata-mata berdasarkan suka sam suka tanpa adanya akad.
         Para ulama mazhab juga sepakat bahwa “Nikah itu sah bila dilakukan dengan redaksi  زوّجتُ ( aku mengawinkan) atau اًنكحت (aku menikahkan) dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya, dan redaksi قبلت (aku terima) atau رضيت (aku ridha) dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya”.
         Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak menggunakan redaksi Fi’il Madhi, atau menggunakan lafadz yang bukan berakar dari kata yang telah disebutkan diatas, seperti hibah (pemberian), al Bai’ (penjualan) dan sejenisnya.
         Mazhab Hanafi berpendapat “ akad nikah boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafadz al Tamlik (pemilikan), al hibah, al bay’, al atha al ibahah dan al ihlal sepanjan akad tersebut desertai dengan Qorinah yang menunjukan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika diucapakan dengan lafadz al Ijarah (upah) atau al Ariyah (pinjaman) sebab kedua kata tersebut tidak menunjukan arti klestarian kontinuitas. Para penganut mazhab hanafi mengambil dalil dari hadits yang di muat dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim
         Mazhab Maliki dan Hambali  berpendapat bahwa “ Akad nikah di anggap sah jika menggunakan lafadz  النكاح  atau الزواج dan juga di anggap sah dengan lafadz الهباح dengan syarat harus di sertai maskawin, selain kata kata tersebut tidak sah[15]”. 
         Mazhab Imamiyah mengatakan bahwa “ ijab harus menggunakan lafadz زوّجتُ atau  اًنكحت dalam bentuk madhi, akad tidak boleh dilakukan dengan lafadz yang bukan bentuk madhi, dan akad tidak sah selain menggunakan lafadz diatas.
         Imamiyah, syafi’I dan hambali berpendapat disyaratkan kesegerahan dalam akad. Artinya Qabul harus dilakukan segera setelah Ijab secara langsung dan tidak terpisah oleh perkara lain.
         Maliki berpendapat “ Pemisahan yang sekedarnya misalnya dengan khutbah nikahyang pendek dan sejenisnya tidak apa-apa.
         Hanafi berpendapat bahawa Akad nikah tidak di syaratkan kesegeraan, menurut mazhab ini, kalau ada seseorang laki-laki mengirim surat lamarannya kepada seorang wanita lalu wanita tersebut menghadirkan para saksi dan membacakan surat itu kepada mereka, kemudian mengatakan “saya nikahkan diri saya kepadanya” padahal lelaki tersebut tidak ada di tempat, maka akad tersebut sah[16].

BAB II
PERMASALAHAN DALAM NIKAH
a. Akad nikah dengan tulisan
Pertayaan :
Sahkah akad nikah memakai tulisan atau isyarah ?
Jawaban :
            Imam Syafi’i, Imamiyah dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dengan tulisan itu tidak sah sedangkan Hanafi mengatakan sah, apabila orang yang melamar dan dilamar tidak berada dalam satu tempat. Selanjutnya semua mazhab sepakat bahwa orang bisu cukub dengan memberikan isyarah secara jelas yang menunjukan maksud nikahnya, manakala dia tidak pandai menuis, tetapi apabila dia pandai menulis, maka dipadukan antara tulisan dan isyarahnya.
a.      Mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab
Berdasarkan hukum asalnya ijab itu datangnya dari pengantin wanita, sedangkan qabul dari pengantin laki-laki. Andaikata Qabul didahulukan, dan Ijab diakhirkan, dimana pengantin laki-laki mengatakan pada wali “ Nikahkan saya dengan dia ”Lalu wali berkata“ saya nikahkan kamu dengannya.
Pertayaan :
Sahkah akad nikah diatas ?
Jawaban :
Imamiyah, Syafi’i, Maliki dan Hanafi sepakat bahwa akad nikah sah, tetapi Hambali mengatakan tidak sah[17]
b.     Nikah karena Hamil diluar Nikah
Akibat pergaulan bebas dan tidak terkontrol, banyak sekali anak perempuan hamil diluar nikah, dan untuk menutupi aib keluarga biasanya perempuan tadi dikawin paksa dengan laki-laki yang menghamilinya atau bahkan dengan lelaki lain yang dibayar untuk menikahinya.
Pertayaan :
1.      Sahkah pernikahan tersebut?
2.      Dan anak yang dilahirkan dinasabkan kepada siapa?
3.      Siapa wali nikah jika anak tersebut perempuan?
Jawaban[18] :
1.      Pernikahan tetep sah, baik dengan lelaki yang menghamilinya atau dengan lelaki lain
2.      Tafsil : jika anak tersebut lahir setelah lebih dari enam bulan dari akad nikah, maka nasabnya kepada lelaki yang menikahinya. Jika kurang dari enam bulan maka nasabnya dari ibunya saja
3.      Bapak nasabnya, dan kalau anak zina maka walinya hakim
c.       Anak kandung menjadi wali bagi ibu
Permasalahan ini kadang terjadi diakibatkan tidak ada lagi keluarga yang tinggal hannya anak dan ibu yang ingin menikah dalam permasalahan ini bagaimana setatus anak menjadi wali nikah adakah imam yang memperbolehkan.
Pertayaan:
Adakah Ashab Syafi’i yang memperbolehkan anak kandung menjadi wali dari ibunya sendiri ?
Jawaban :
Ada yaitu Imam Muzani
Dasar pengambilan hukum “ perkataan seseorang anak  tidak boleh mmenikahkan dari yang dinikahkan (ibu) tetapi, hal ini berbeda dengan Imam Muzani dan Imam Tsalasah[19]
d.     Nikah dengan mahar di muka
Pertayaan :
Akad nikah dengan mahar muqoddam/sebelum akad ?
Jawaban :
Sah nikahnya maupun maharnya
Dasar pengambilan hukum “ jika sesorang melamar wanita kemudian dia memberi sesuatu kepada wanita tersebut tanpa menjelaskann pemberiannya dan itu diberikan sebelum akad, kemudian diantara kedua terjadi ketidak cocokan, maka orang tersebut diperkenankan kembali untuk menarik kembali pemberiannya. Sebagaimana keterangan yang telah dikelaskan oleh sekelompok Ulam Muhaqiqun, dan jika ada lelaki memberi sesuatu kepada wanita lamarannya dan wanita tersebut mengatakan sebagai hadiah, sementara lelaki tersebut mengatakan sebagai mahar maka pengakuan lelaki yang diterima dengan sumpahnya”[20].
e.      Hukum memakai kondom ketika bersetubuh
Pertayaan :
Bagai mana hukumnya memakai kondom ketika bersetubuh
Jawaban :
Khilaf diantara ulama : Ada yang mengatakan Makruh ada juga yang mengatakan Boleh, namun menurut Qaul yang shahih hukumnya boleh dengan syarat Ridhonya sang istri[21]
f.       Memecah selaput darah dengan hal yang tidak lazim
Pertayaan :
      Kalau seorang selaput darah istrinya dengan jari-jari atau dengan sesuatu alat apakah itu hukumnya sama dengan melakukan seksual dalam kaitannya membayar mahar
jawaban:
Menurut Ayatollah Sayyid Abu Qasim Al Khu’i “suami harus membayar mahar secara penuh akibat selaput darah yang dia pecahkan, berdasarkan riwayat Ali bin Ri’ab”.

BAB III
CACAT DALAM NIKAH
Mazhab-mazhab fiqh merinci dari jumlah cacat yang menyebabkan terjadinya faskh (kerusakan) perkawinan  berikut hukum hukumnya :
A.    Impotensi
Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki tidak mampu melaksanakann tugas seksualnya. Dalam keadaan seperti itu menurut seluruh mazhab, istri dapat membatalkan perkawinan. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang, apabila suami impoten terhadap istrinya tidak terhadap wanita lain, apakah istri dapat membatalkan perkawinannya ?
Syafi’I, Hambali dan Hanafi mengatakan “apabila suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istri berhak menjatuhkan pilihan berpisah, walaupun suaminya itu mampu melakukannya pada wanita lain, sebab dinisbatkan pada istrinya itu, laki-laki tersebut disebut impoten. Apalah manfaat yang bisa dia peroleh dari kemampuan suaminya melakukan seksual pada wanita lain sedangkan pada istrinya tidak”. Imamiyah berpendapat bahwa “pilihan untuk membatalkan nikah ditetapkan kecuali dengan adanya impotensi kepada semua wanita”.
B.     Al Jubb dan Al Khasha
Al Jubb adalah terpotongnya dzakar, sedangkan  Al khasha adalah kehilangan atau pecahnya buah dzakar. Adanya  dua hal ini pada seorang laki-laki, menurut kesepakatan semua mazhab menyebabkan istri berhak membatalkan perkawinan, tanpa keharusan menunggu bila hal itu sudah ada sebelum hubungan seksual  sedangkan bila baru terjadi setelah akad dan hubungan seksual maka istri tidak berhak untuk membatalkan perkawinan.
Hanafi mengatakan bahwa, manakala dzakar yang empelirnya kering itu masih bisa ereksi, sekalipun tidak bisa mengeluarkan seperma, maka istri tidak berhak membatalkan perkawinan. Sedangkan  mazhab mazhab lain sependapat bahwa bisa ereksi maupun tidak, sepanjang tidak bisa mengeluarkan mani, pilihan atau membatalkan ada pada istri, sebab tidak bisa mengeluarkan mani sama saja dengan impoten.
Imam Al Syahid Al Tsani dalam kitabnya al Masalik mengatakan bahwa keringnya buah dzakar masih bisa melakukan senggama dan memberikan organisme, kondisinya jauh lebih baik dibandingkan kemandulan, bedanya yang disebut terdahulu tidak bisa mengeluarkan mani, ini yang merupakan cacat yang istri berhak menjatuhkan pilihan, berdasarkan hadits yang mengatakan bahwa suami dari istri yng mengalami hal itu boleh menjatuhkan pilihan.
C.    Gila
Maliki, Syafi’i, dan Hambali sepakat bahwa suami boleh mem-faskh akad karna penyakit gila yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya, perbedaan pendapat, terdapat dalam rincian-rinciannya, syafi’i dan hambali mengatakan, “karna penyakit gila, faskh di tetapkanbagi keduanya, baik penyakit gila tersebut terjadi sebelum akad atau sesudahnya, serta sesudah percampuran atau belum, tanpa harus menunggu beberapa waktu seperti pada impotensi.
Maliki mengatakan bahwa, apabila gila itu terjadi sebelum akad, kedua pihak pihak boleh melakukan faskh dengan syarat ada ancaman bahaya bagi yang waras bila bergaul dengan yang gila itu, tetapi apabila terjadi sesudah akad, yang berhak faskh hanyalah istri, sesudah di beri tenggang waktu satu tahun. Sebab, terdapat kemungkinan sembuh dalam masa tenggang tersebut. Sedangkan suami, tidak berhak atas faskh karena istrinya menderita gila yang terjadi sesudah akad.
Imamiyah mengatakan bahwa, suami tidak boleh mem-faskh perkawinan karna istrinya terkena gila yang terjadi sesudah akad, karna masih terbuka kemungkinan baginya menjatuhkan talaq. Tapi seorang istri boleh melakukan faskh karna suami nya gila, baik terjadi sebelum maupun sesudah akad, atau setelah persenggamaan
Sementara itu, Imamiyah, hambali, syafi’I, dan maliki sepakat bahwa wanita tersebut berhak atas mahar penuh bila sudah di campuri, dan tidak berhak jika sebelum.
D.    Sopak dan kusta
Imamiyah berpendapat bahwa, sopak dan kusta adalah dua penyakit yang dapat menyebabkan seorang laki-laki boleh melakukan faskh, tetapi tidak boleh bagi kaum wanita, dengan syarat bahwa hal itu terjadi sebelum akad nikah dan laki-laki tersubut tidak mengetahuinya,. Sedangkan bagi istri, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan faskh, manakala dari salah satu penyakit tersebut terjadi pada  suaminya.
Syafi’I, maliki dan hambali berpendapat bahwa kedua penyakit tersebut merupakan cacat bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perepuan. Kedua belah pihak boleh melakukan faskh manakala menemukan penyakit tersebut ada pada pasangannya, Orang yang menderita penyakit tersebut, bagi syafi’I, dan hambali, hukum nya sama dengan orang-orang gila.
Sementara itu, maliki mengatakan bahwa kaum wanita boleh mem-faskh manakala penyakit tersebut di temukan sebelum dan sesudah akad nikah. Sedangkan laki-laki boleh melakukan faskh manakala penyakit kusta dalam diri wanita tersebut di temukan sebelum atau ketika akad. Sedangkan sopak, manakala di temukan sebelum akad, maka kedua belah pihak memilih hak faskh. Tetapi kalau sopak itu terjadi sesudah akad, maka hak tersebut hanya bagi wanita dan tidak bagi laki-laki. Adapun sopak yang ringan yang di temukan sesudah akad, tidak berpengaruh terhadap kelangsungan akad. Terhadap orang yang menderita sopak atau kusta, hakim harus memberi masa tenggang setahun penuh bila ada kemungkinan sembuh dalam jangka waktu ini.
E.     Al-Ritq, Al-Qarn, Al-‘Afal, dan Al-Ifdha
Al-ritq adalah tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan bersenggama. Al-qarn adalah benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip dengan tanduk domba.  Al-‘Afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang selalu mengeluarkan cairan, sedangkan. Al-Ifdha’ adalah menyatunya kedua saluran pembuangan.
Keempat cacat ini, sebagai mana yang pembaca ketahui, adalah kasus pada kaum wanita. Adanya salah satu dari keempat jeniscacat tersebut pada diri seorang wanita, menyebabkan seorang suami, menurut Maliki dan Hambali, berhak membatalkan perkawinan. Sedangkan Syafi’i mengatakan bahwa, yang menyebabkan terjadinya faskh adalah al-ritq dan al-qarn saja, sedangkan al-ifdha’ dan al-‘afal, tidak berpengaruh terdapat akad.
Menurut Imamiyah, al-qarn dan al-ifdha’ mempunyai efek dalam pembatalan perkawinan, sedangkan al-ritq dan al-‘afal tidak mempunyai efeksama sekali. Mereka juga menyatakan bahwa buta dan pincang yang terlihat jelas pada diri seorang wanita sebelum akad. Sedangkan suaminya tidak tahu hal itu, maka si suami jika mau bisa mem-faskh akad. Tetapi jika cacat tersebut ada pada diri suami, maka istri tidak boleh melakukan faskh.
F.      Kesegraan
Imamiyah mengatakan bahwa hak  faskh berlaku segera. Artinya kalau seseorang lelaki atau wanita tau danya cacat pada pasangannya, dan dia tidak segera meminta faskh, maka akad yang terjadi dianggap sah dan mengikat demikian halnya bila terjadi penipuan.

BAB IV
TALAK
A.    Pengertian Talak
Talak menurut bahasa arab adalah melepaskan ikatan yang dimaksud disini ialah melepaskan ikatan pernikahan, ulama mendefinisikan talak ialah melepaskan menggunakan kemanfaatan pada seorang istri , yang manah istri adalah milik manfaat bagi seorang suami yang menikahinya[22].
Disyarat kan bagi orang yang menalak hal hal berikut ini
1.      Baligh, talak yang dijatuhkan anak kecil tidak sah, sekalipun dia telah pandai, demikian pendapat Ulama Mazhab kecuali mazhab Hambali mengatakan bahwa talak sah yang dijatuhkan anak kecil yang mengerti sekalipun usia bbelum mencapai sepuluh tahun.
2.      Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila, dan orang yang dalam keadaan tidak sadar, tetapi ulama Mazhab berbeda pendapat tentang talak yang dijatuhkan oleh orang yang mabuk, Imamiyah mengatakan bahwa talak orang mabuk sama sekali tidak sah. Sedangkan Maliki, Syaf’i, Hambali dan Hanafi berpendapat bahwa talak yanng dijatuhkan orang yang mabuk sah manakala dia mabuk minum minuman yang diharamkan atas dasar keinginan sendiri.
3.      Atas kehendak sendiri. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa itu tidak sah, menurut kesepakatan para Ulama Mazhab. Kecuali Mazhab Hanafi Talak yang dijatuhkan orang yang dipaksa adalah sah.
4.      Betul betul bermaksud menjatuhkan talak. Menurut mazahab imamiyah seorang laki-laki yang mengucapkan talak karena lupa, keliru dan main-bahwa orang yang melakukan talak dengan cara tersebut dikatakan sah[23], kecuali Mazhab Hambali yang mengatakan talak yang dilakukan diatas tidak sah[24].
B.     Redaksi Tolak
Talak dianggap tidak jatuh (sah) kecuali dengan mengunakan redaksi khusus, yaitu انت طالق  (engkau adalah orang yang di ceraikan), فلا نه اطلاق (menyebut nama istrinya), atau, “Hiya (Dia Perempuan) Thaliq, هي طالق  (semuanya dalam bahasa Arab, ed.) . Kalau dia mengunakan redaksi: al-thaliq  الطالق(yang di ceraikan) , al-muthallaq, المطلقة(yang tercerai)طلقت   thallaqtu, (kuceraikan) , al-thalaq,  الطلاق (cerai) ,min al-muthallaqat, من المطلقات(di antara yang di cerai) dan sebagainya, selain yang di sebutkan di atas, tidak jatuh talaq, sekalipun dia benar-benar berniat talaq. Sebab, sekalipun materi talaknya ada, tapi kata thaliq, tidak  ada. Selain itu, redaksi talak disyaratkan dalam harus dalam bahasa arab yang fasih, tidak ada kesalahan gramatika atau pengucapannya, serta tidak di kaitkan dengan sesuatu apa pun. Sekalipun hal itu pasti terjadi, misalnya mengaitkannya dengan terbitnya matahari dan sebagainya.
C.    Talak raj`I dan Talak bai`n
Talak terbagi menjadi dua: Talak raj`I dan talak bai`n. Para ulama mazhab sepakat bahwa yang di namakan talak raj`I ialah talak yang suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istrinya masih dalam massa `iddah, baik istri tersebut bersedia dieujuk maupun tidak. Salah satu diantara syaratnya adalah bahwa si istri sudah di campuri, tidak mempunyaa masa `iddah,
Juga termasuk syarat talak raj`I adalah bahwa talak tersebut tidak dengan menggunakan uang (pengganti) dan tidak pula di maksudkan untuk melengkapi talak tiga.
Wanita yang ditalak raj`I hukumya seperti istri. Mereka masih keduanya (suami-istri) manakala salah satu keduanya ada yang meninggal sebelum selesainya masa `iddah. Sementara itu, mahar yang dijanjikan untuk dibayar, kecuali sesudah habisnya masa `iddah dan si suami tidak mengambil kembali si istri kedalam pangkuanya. Singkatnya, talak raj`I tidak menimbulkan ketentuan-ketentuan apapun kecuali `iddah dalam tiga talak.
Sedangkan talak bai`n adalah talak suami yang tidak memiliki hak untuk rujuk kepada wanita yang di talaknya, yang mencakup berbagai jenis:
1.      Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini di sepakati semua pihak)
2.      Wanita yang di cerai tiga (juga ada kesepakatan pendapat)
3.      Talak khulu`. Sebagian ulama mazhab mengatakn bahwa khulu` adalh faskh nikah, bukan talak
4.      Wanita yang telah memasuki masa menopuse khususnya pendapat imamiyah , karena mereka mengatakan bahwa, wanita menopuse yang ditalak tidak mempunya `iddah . hukumya sama dengan hukum wanita yang di campuri.
5.      Hanafi mengatakan: khalwat dengan istri tanpa melakukan campuran, menyebabkan adanya kewajiban `iddah . akan tetapi laki-laki yang menceraikannya tidak boleh rujuk kepadanya pada saat wanita tersebut dalam masa `iddah, sebab talaknya adalah talak bai`n
6.      Hanafi mengatakan: Apabila suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau kutalak dengan talak bai`n atau talak yang berat, atau talak segunung, talak yang paling buruk, atau talak yang paling hebat,” dan ungakapan-ungkapan lain sejenis itu, maka talak yang jatuh adalah talak bai`n yang tidak memungkinkan lagi bagi laki-laki trsebut untuk merujuknya kembali di saat wanita tersebut berada pada masa `iddahnya. Begitu pula halnya manakala si suami menjatuhkan talaknya dengan perkataan-perkataan kiasan yang mengandung arti perspisahan sama sekali, semisal, “engkau ku lepaskan selepas-lepasnya, “engkau putus hubungan denganku,” atau “engkau kupisahkan sepenuhnya.”
D.    Keraguan dalam jumlah talak
Para ulama mazhab sepakat bahwa, manakala terjadi keraguan dalam jumlah talak, apakah baru satu kali atau lebih, maka yang di tetapkan adalah jumlah yang sedikit, kecuali maliki. Madzhab yang disebut terakhir ini mengatakan bahwa yang ditetapkan adalah jumlah yang paling banyak diantara jumlah yang diragukan itu.

BAB V
KHULU’
A.    Pengertian Khulu`
Khulu ialah penyerahan harta yang di lakukan oleh istri untuk menebbus dirinya dari (ikatan) suaminya. Dalam hal ini terdapat beberapa masalah berikut ini:
Apakah di dalam khulu` tersubut disyaratkan, dan si istri agar menyerahkan harta agar si suaminya menalak dirinya, sedangkan keadaan mereka cuk up senang dan akhlak mereka berdua pun sesuai, apakah khulu` tersebut sah?
Mazhab empat mengatakn khulu` tersebut sah dan berlaku konsekuensi-konsekuensi dan akibat-akibat hukum yang dilahirkannya. Kendati demikian mereka menyatakan bahwa khulu` seperti itu makruh (tidak di sukai) hukumya[25]
B.     Syarat-syarat penggantian khulu`
Mazhab empat mengatakan: khulu` boleh di lakukan selain istri. Apabila seorang laki-laki lain mengatak kepada suami (si wanita), “Ceraikan istrimu dengan uang pengganti seribu dirham yang saya bayarkan,” lalu si suamni menalak istrinya atas dasar itu, makala khulu` tersebut sah, ssekalipun istrinya tidak mengetahuinya, dan tidak pula rela menerima khulu` tersebut sesudah dia mengetahuinya. Sedangkan laki-laki lain meminta khulu` tersebut wajib membayar harta penebus yang di katakannya itu kepada suami yang menalak istrinya tersebut.
C.    Syarat bagi wanita yang mengajukan khulu`
Para ulama madzhab sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu` kepada suaminya itu wajib sudah baligh dan berakal sehat. Mereka juga sepakat istri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan khulu` tanpa izin walinya, dan mereka berbeda pendapat tentang keabsahan khulu-nya makala di izinkan oleh walinya.
Hanafi mengatakan: Apabila walinya yang melaksanakan pembayaran tebusan tersebut dengan harta miliknya, sahkah khulu` tersebut, tapi bila tidak, maka salah satu dari dua riwayat yang lebih kuat, penebusan batal dan talak jatuh atas istrinya.
Imamiyah dan Maliki mengatakan :Berdasarkan dari wali untuk membayar tebusan khulu`, maka sahkah khukku tersebut, sepanjang tebusan itu di ambilkan dari hartanya sendiri dan bukan harta walinya.
Syafi`I dan Hambali mengatakan : Khulu’ yang di ajukan oleh wanita yang safih sama sekali tidak sah, baik dengan atau tanpa izin walinya, dan Syafi`I hanya member satu pengecualian, yaitu manakala walinya khawatir bahwa suaminya akan menguasai harta istrinya yang safih itu. Dalam kasus yang di bilang belakangan ini, wali boleh member izin kepada wanita tersebut untuk mengajukan khulu` dengan maksud menjaga hartanya. Selanjutnya syafi`I mengatakan khulu`-nya batal, tapi jatuh talak raj`i.
Sementara itu Hambali mengatakan: Tidak terjadi khulu` dan tidak pula jatuh talak bila si suami berniat menjatuhkan talak ketika ia melakukan khulu`, atau khulu-nya diucapkan dengan redaksi talak.
D.    Syarat bagi suami yang melakukan khulu’
Seluruh mazhab, kecuali Hambali sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan khulu’sedangkan Hambali mengatakan Khulu’sebagaimana halnya dengan talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz.
E.     Redaksi khulu’
Mazhab Empat memperbolehkan khulu’ dengan menggunakan lafadz yang jelas, misalnya khulu’ dan faskh, maupun dengan redaksi kiasan misalnya seperti lafadz “saya lepas dan jauhkan engkau dari sisiku.”
Hanafi mengatakan khulu’ boleh digunakan dengan menggunakan redaksi jual beli, misalnya suami mengatakan kepada istrinya.” Saya jual dirimu dengan harga sekian,” lalu istri menjawab,”saya beli itu.” Atau sisuami mengatakan kepada istrinya. “Belilah talak dengan harga sekian” lalu si istri mengatakan” baik saya teri tawaranmu.”
Syafi’I juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan khulu’ dengan menggunakan redaksi al bai’.

BAB VI
ZHIHAR DAN ILA’
A.    Zhihar
Zhihar ialah apabila, apabila ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “bagiku engkau seperti punggung ibu.” Para Ulama Mazhab Sepakat bahwa, apabila seorang laki-laki mengatakan hal seperti itu kepada istrimnya, maka laki-laki itu haram mencampuri istrinya sampai ia memerdekakan budak, kalau dia tidak mampu dia harus puasa dua bulan berturut-turut, kalau dia tidak mampu pula maka harus member makan enam puluh orang miskin.
Imamiyah mensyaratkan bagi sahnya zhihar, yaitu hadirnya dua orang yang adil yang mendengarkan ucapan laki-laki tersebut dan istri dalam keadaan suci dan belum dicampuri lagi semenjak sucinya.
B.     Ila’
Ila’ ialah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya. Seluruh mazhab sepakat bahwa “ ila’dipandang jatuh manakala suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya seumur hidupnya, atau masa lebih dari  empat bulan” tetapi mereka berbeda pendapat manakala waktunya selama empat bulan.
Hanafi mengatakan :  ila’ tersebut jatuh, tetapi tidak jatuh menurut mazhab lain. Mereka juga sepakat manakala suami mencapuri istrinya selama empat bulan itu (sesudah dia bersumpah), maka ia harus membayar kafarat, dan hilanglah larangan untuk melanjutkan perkawinan.
Imamiyah mensyaratkan (untuk sahnya ila’) hendaknya istrinya sudah pernah di campuri, apabila belum maka sumpah ila’ tersebut tidak sah.
PENUTUP
Risalah ini masih sangat minim saya tulis karena keterbatasan ilmu yang saya miliki, mudah-mudahan menambah sedikit pengetahuan bagi yang membaca. Untuk itu saya minta maaf apabila ada kesalahan tentang perbandingan mntara mazhab mengenai hukum yang ada dalam pernikahan semoga Allah senantiasa menagmpuni kedhoifan hambanya, karena pada haknya hannya Allahlah yang mengetahui akan sebuah kebenaran. Wallahu A’lam


DAFTAR PUSTAKA
1.      Mughniyah Muhammad Jawad, Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Khamsah, Dar Jawad, Baerut, Lebanon, Cetakan. 27, Tahun 2010 M
2.      Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Arba’ah, Dar Fikr, Baerut, Lebanon, Cetakan pertama
3.      Al Qalyubi Ahmad dan Umairah Ahmad, Hasiyata Al Qalyubi wa Umayrah, Dar Al Kutub Al Ilmmiyah, Baerut Lebanon, Cetakan keenam, 2010 M
4.      Ibnu Rusy, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut, Lebanon, Cetakan pertama, 1428 H
5.      Ibnu Hajar Al Asqolani, Fath Al Bari, Dar Al Kutub Ilmiyah Baerut Lebanon, Cetakan pertama, 1424 H
6.      Abu bakar al-Bakri bin sayyid muhammad syato’ al-Dimyati ”I’anah al – Tholibin” Dar al- Fikr Baerut lebanon 1432 H
7.      Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, Jeddah Dar al-Minhaj, 2007
8.      Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, Dar al-Fikr, 2004
9.      Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, Bada`I’ al-Shana`I’ fî Tartib al-Syara`I,Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, cetakan kedua
10.  Mansur bin Yunus al-Bahuti, Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1433 H
11.  Muhammad Abu Zahrah,” Muhadara Fi Akad Al Azawaj Wa Asaruh  dar Al Fikr Al Arobi, cetakan sembilan
12.  Sulaiman Rasjid, Fiqh Islami, Sinar Baru Algensindo, bandung 2010. Cetakan ketujuh


[1] Shihabuddin Ahmad bin Ahmad al Qalyubi dan Ahmad al Burullusi “ Hasiyata al Qolyubi wa Umayrah” Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut Libanon,  Juz. III, hal. 313
[2] Muhammad Abu Zahrah,” Muhadara Fi Akad Al Azawaj Wa Asaruh  dar Al Fikr Al Arobi, hal. 34
[3] Abdul hamid asy-Syarwani”Hawasyi as-Syarwani” Dar Alkutub al Ilmiyah,  Juz 9, hal. 4
[4] Shihabuddin Ahmad bin Ahmad al Qalyubi dan Ahmad al Burullusi “ Hasiyata al Qolyubi wa Umayrah” Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Baerut Libanon,  Juz. III, hal. 328
[5] Abu bakar al-Bakri bin sayyid muhammad syato’ al-Dimyati I’anah al – Tholibin, Dar al- Fikr juz 3 hal. 316
[6] Muhammad bin `Ahmad bin ‘Umar al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, Jeddah: Dar al-Minhaj, 2007, hal 582.
[7] Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus, Dar al-Fikr, 2004, Cet. 9, hal  6521.
 Mas’ud bin Ahmad al-Kasani, BadaI’ al-ShanaI’ fi Tartib al-SyaraI’ , Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah, cet. 2, hal. 230
[8] Mansûr bin Yunus al-Bahuti, Kasyaf al-Qina ‘an Matn al-Iqna, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyyah.
[9] Abd al-Rahman bin Muhammad 'Audh al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-`Arba’at, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2001, hal.  818
[10] Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islimi, jilid IV, hal. 6521.
[11] Lihat Ibnu Qudamah Mughni, Juz. IV
[12] Departemen Agama RI, 2003,Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Dirjen Bimas
Islam & Urusan Haji, Jakarta, hal. 24
[13] Noor Rahmat,2002, Hak Memilih Pasangan, Tidak Perlu Ada, Yayasan Kesejahteraan
Fatayat (YKF) Yagyakarta, Ford Foundation, Jakarta.
[14] Lihat Ibnu Rusyd, Bidayat Al Mujtahid dan Ibnu Al Syafi’iyah, Maqshad Al Nabiyyah
[15] Lihat Abu Zahrah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, hal 36
[16] Lihat Al Fiqh ‘ala Madzahib Al Arb’ah, Juz IV, tentang syarat-syarat nikah dan Muyiddin abd Al Hamid, (Al Ahwal Al-Syakhshiyyah).
[17] Lihat Al-Allamah Ai Hilli, Tadzkirah, Juz II.
[18] Asayyai Abd Rahman bin muhammad bin husain “Bughyatul Mustasyidin” Dar al Kutub Ilmiyah, hal. 201, Bairut Libanon, dan Syaikh al Imam Ibnu Ziayad “Ghoyatul Talkhisil Murod” Dar al Fikr, hal. 241.
[19] Al Syarqowi, juz II, hal. 219. Lihat Mughni Muhtaz, juz III, hal. 151. Lihat Al Mizan Kubro, juz II, hal. 126.
[20] Lihat I’anatu Al Thalibin, juz III, hal. 355. Lihat Al Fatwa al Kubra, juz IV, hal. 111
[21] Lihat Ihya ‘Ulumuddin, Juz IV, hal. 53
[22] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islami, Bandung:Sinar Baru Algensindo, Hal. 401
[23] Abu Zahrah “Al Ahwal as Syakhshiyyah”, dar Al-fikr, bairut lebanon, hal. 286
[24] Ibnu Rusy, Bidayah Al Mujtahid, Dar Al Maktabah Al Syamilah, Juz III, hal. 74
[25] Al-ustadz Al-Khafif, Firaq Al-Zawaj, halaman 159.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khabar Hadits Mardud

Hadits Munqathi' dan Mu'dhol